Kamis, 28 November 2013

Media; Ghibah dan Namimah Era Modern

'Saya bertanggungjawab terhadap apa yang saya tulis, bukan tentang apa yang pembaca pikirkan.' Ada yang tahu jargon ini? Well, entah kenapa, saya rasanya agak kurang setuju yah. Kalau begini, bukannya penulis jadi seolah lepas tanggung jawab, berasa boleh nulis apa aja tanpa musti mikir apa nanti efek dari tulisannya buat mereka yang membacanya?

Saya nggak tahu sama yang lain ya, tapi di masa sekarang ini, senjata yang paling berbahaya itu bukan lagi bom atom kayak yang bisa menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki beberapa waktu yang lalu. Bukan juga embargo ekonomi atau serangan-serangan lain yang sifatnya menghilangkan nyawa dan fisik. Tapi pena para jurnalis. Yak, pena para jurnalis.

Jurnalis? Oke, menggunakan bahasa awam, mungkin bisa saya sebut saja sebagai para pembawa dan penulis berita.

Kenapa?

Bahasa adalah kunci komunikasi. Dan sebuah berita disampaikan bukan melulu tentang apa yang diberitakan, tapi yang juga gak kalah pentingnya adalah tentang bagaimana berita itu disampaikan.

Gak diragukan lagi, dengan pemilihan kata dan diksi yang tepat, maka penulis adalah orang yang bisa banget menggiring opini pembaca. Di tangan penulis, tragedi bisa jadi komedi. Penjahat jadi pahlawan. Mematikan karakter seseorang cukup dengan beberapa kalimat saja. Bahkan bisa mengajak orang lain rame-rame untuk sependapat dengannya. Nah, kurang mematikan apalagi, coba?

Bahaya banget kan, kalau dunia jurnalistik dipenuhi sama orang-orang yang nggak objektif dan sarat kepentingan. Apalagi kalau mereka udah gak jujur. Wuaahhhh.....

Media juga memiliki peranan yang nggak kalah dahsyatnya saya kira. Entah di media mana saja, online atau cetak. Masih mending ya kalau berita yang disampaikan itu cuma lewat bisik-bisik tetangga doang, sekalipun sebenarnya tetap aja nggak boleh. Kenapa? Karena kalau cuma bisik-bisik doang, orang bisa lupa dengan cepat. Tapi kalau tertulis? Berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun kemudian, orang masih bisa baca selama medianya masih eksis. Mereka yang nggak perlu tahu jadi tahu. Dan bahkan mungkin terpengaruh lagi dengan pemberitaan-pemberitaan basi itu padahal bisa jadi kasusnya sudah selesai dan pihak yang berkepentingan udah hidup dengan tentramnya.

Belum lagi komentar-komentar yang bukan lagi sekedar komentar dan saran membangun, tapi udah menjurus penghinaan, saling melontarkan kata kotor dan merasa sah-sah saja dengan dalih semua orang bebas berkomentar. Ini era reformasi, begitu.

Kebayang kan salah kaprahnya gimana? Udahlah berjamaah, diwariskan pula.

Jurnalis dan penulis, adalah mereka yang dekat sekali dan berisiko banget untuk melakukan ghibah dan namimah. Salah-salah, bisa menimbulkan fitnah yang efeknya kita semua rasanya udah pada tau juga. Dosa besar yang mendadak jadi lumrah di zaman ini.

'Trus, kalau begitu, apa kita harus berhenti menulis?' Ya enggak lah, boss. Hal yang memang perlu disampaikan tetap saja harus kita sampaikan. Ada beberapa hal yang diam itu bukan emas. Tapi mari kita menulis dengan bijak serta mengikuti kaidah dan norma yang berlaku. Itu saja.

Anyway, mungkin tulisan di bawah ini bisa jadi refleksi untuk kita. Saya ambil dari http://yusufmansur.com/gerbong/

1. Seorang perempuan, diadili di alam kubur. Tuduhannya ga main-main, membunuh dan memperkosa.#gerbong
2. Ga terima si perempuan ini. Bagaimana bisa? Tangannya ketika di dunia begitu lembut. #gerbong
3. Ga bisa ia melihat ayam dipotong. Lalu bagaimana ia bisa dituduh membunuh untuk sesuatu yang tidak ia kerjakan juga? #gerbong
4. Dan koq bisa ia dituduh memperkosa? Bukankah mestinya perempuanlah yang diperkosa? Aneh. #gerbong
5. Ia minta keadilan Allah. Tapi pengadilan kubur terus berjalan.#gerbong
6. Siksa kubur mulai dikenakan kepada beliau, dengan standar hukuman para pembunuh dan pemerkosa. #gerbong
7. Rupanya, ketika di dunia, ia senang memakai rok mini dan pakaian-pakaian yang mengundang syahwat. #gerbong
8. Hingga ada satu laki-laki yang terangsang. Namun ia ga berani sama ni perempuan. #gerbong
9. Beraninya sama anaknya. Anak perempuannya sendiri dimakannya. #gerbong
10. Kemudian sekaligus dibunuh. MasyaAllah.#gerbong
11. Di dalam urusan koneksi antar-manusia dan antar-perbuatan, laa hawla walaa quwwata illaa billaah, #gerbong
12. Ternyata, si perempuan itu pun dianggap pelaku. #gerbong
13. Belom lagi kalau ia paham, setiap mata yang tertuju padanya, adalah maksiat mata, #gerbong
14. Yang sialnya ia yang pake itu pakaian, malah ia dapat dosa dobel-dobel dan berlipat-lipat. #gerbong
15. Yakni dapat juga doa dari banyaknya mata yang melihat auratnya. #gerbong
16. NAMUN insyaAllah mata rantai kebaikan juga ga kurang-kurang limpahan rizki pahalanya. #gerbong
17. Saya contohnya, ketika baca al Qur’an di wisatahatiantv, maka huruf-huruf yang saya dapat, bukan saja dari yang saya baca. #gerbong
18. Melainkan berapa juta pemirsa yang dengar, itu semua akan dibawa ke hadapan saya. #gerbong
19. Dan apakah saya doangan yang dapat? Seluruh keluarga besar wisatahatiantv, kru-krunya, #gerbong
20. dan seluruh orang yang terlibat di antv, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, hingga tukang listrik, OB, #gerbong
21. hingga apalagi direksi dan ownernya, semuanya dapat… Subhaanallaah… #gerbong
22. Kiranya semua yang Allah karuniakan, mudah-mudahan dapat dibawa untuk kepentingan-Nya. #gerbong
23. Maka jadilah yang masuk di mata rantai kebaikan. Jangan berada di mata rantai keburukan. #gerbong
24. Sekecil apapun peran Saudara semua, jadilah di mata rantai kebaikan. #gerbong
25. Pokoknya, jangan di mata rantai keburukan. #gerbong
26. Syukur-syukur bisa jadi gerbong kebaikan. Dan na’uudzu billaah, jangan ampe jadi gerbong keburukan. #gerbong

Sabtu, 21 September 2013

Buku Bersampul Hijau Lumut

Aku menemukanmu tak sengaja, teronggok manis di sudut perpustakaan. Terbuka tepat di bagian 'Teman', seolah tahu persis apa yang kubutuhkan, seolah kamu memang tengah menungguku untuk menemukanmu. Bersampul hijau lumut dan dengan halaman-halaman hijau muda yang menyejukkan mata. Maka akupun mulai membaca sambil terus bertanya-tanya apa kau punya sihir? Karena sejak dari halaman pertama, aku tidak bisa berhenti membacamu. Maka langsung saja kamu kubawa pulang, karena kamu bukanlah buku yang bisa kutamatkan dalam sekali duduk.

Benar saja, kamu itu memang semacam buku yang belum, dan mungkin tidak akan pernah selesai aku baca. Ketika waktu bacaku habis, maka kamu akan kutaruh di atas meja dengan kertas penanda yang pitanya berjuntai. Lalu kemudian aku sibuk mengerjakan pekerjaanku sambil pikiranku terus saja padamu, menerka-nerka hendak ke mana dan berkata apa si tokoh utamanya nanti. Kemudian ketika aku kembali meneruskan bacaan itu, aku akan terpekik senang mendapati tebakanku tepat sasaran atau sebaliknya merengut kecewa ketika meleset.


Seringkali bahkan di tengah pekerjaanku yang lumayan menyita waktu, sempat-sempatnya aku menghampirimu, maksudku buku yang kupinjam baca itu. Sekedar meniup debu nakal yang sering bandel mencoba menempel di cover atau di helaian buku yang beberapa kali tak sengaja kubiarkan terbuka. Atau kadang bahkan hanya untuk sekadar memastikan posisinya masih aman atau tidak. Atau menjauhkannya dari, yah.., kadang beberapa makhluk yang tidak kuundang datang juga tertarik ingin bermain-main dengannya. Seperti kucing tetangga yang selalu penasaran dengan pita kertas penandanya.

Seperti itulah kamu mendominasi hari-hariku. Karena kamu bukan saja akan kucari ketika aku tengah senggang. Bukan itu saja. Aku juga akan membaca ketika aku sedang sedih, marah, galau, juga ketika sedang gembira. Ada quote-quote singkat yang sering aku temui, yang entah dengan cara bagaimana, mampu menjawab setidaknya beban di kepalaku. Kamu bahkan tidak perlu harus menerangkan panjang lebar, karena memang bukan itu yang kubutuhkan. Cukup sebuah kalimat, maka aku akan berhenti membolik-balik halamanmu.


Kau tahu? Bahkan di saat-saat ketika kau begitu jauh dalam jangkauan tetapi aku malah terbentur dan tak tahu harus berkata apa, aku akan menarik nafas dalam dan membayangkanmu. Bukan, bukan rupamu karena untuk itu aku bahkan tak perlu harus memicingkan mata untuk mengingatmu. Tapi jawabanmu, seandainya aku bicara langsung padamu. Dan itu selalu berhasil membantuku melalui saat-saat sulit dalam hidupku.

Seperti hari ini, ketika kau kembali jauh dari pandangan. Apa kabarmu sekarang? Sudah lama aku tidak merasakan helaianmu lagi di jemariku. Apakah kamu masih seperti terakhir kulihat; cover mengilap dan disampul plastik? Tentunya. Apakah aromamu masih harumnya wangi kertas, bukan karena parfum pabrik? Semoga. Dan semoga, tulisan yang tertera juga tidak berubah menjadi sandi rumput sehingga aku tak perlu penerjemah, jika nanti aku berkesempatan meneruskan bacaanku lagi. Karena ya, aku masih ingin tahu ke mana si tokoh utamanya setelah ini.


Ah, entah seperti apa esok. Bagaimana jika kau pergi, bagaimana jika seperti yang pernah kau tulis; impianmu yang jauh itu terwujud, tentu aku harus mengucapkan salam. Selamanya, mengubur dalam-dalam keinginan yang diam-diam mengakar dalam hati; membawamu ke tempat-tempat yang ingin kukunjungi. Keliling dunia.




*terima kasih, untuk persahabatan lima tahun ini.