Jumat, 23 Maret 2012

Unsend Message

'Boleh saya tahu, gimana rasanya mendekati garis finish?'

Pertanyaan itu masih tersimpan di arsip pesanku sebagai pesan yang belum terkirim. Sudah lama sekali. Aku bahkan lupa kalau ternyata pernah menyimpannya jika saja aku tidak iseng membersihkan folder pesan yang kepenuhan.

Tapi sepertinya pesan itu memang tak perlu kukirimkan. Tak perlu juga kutanyakan pada siapa-siapa. Selain memang karena orang yang ingin kutanyai itu sudah pergi jauh, lebih dari segalanya, sekarang aku memiliki pengingat. Ada di dalam diriku, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Kamu tahu tidak? Sebelumnya, kadang-kadang aku kesulitan mengingatkan diriku sendiri. Padahal kematian itu pasti. Sepasti matahari terbit di ufuk timur pada pagi hari dan terbenam lagi di ufuk barat. Hanya kadang ia terasa begitu jauh tatkala kita sehat dan muda. Seolah dia hanya akan datang pada orang-orang yang telah tua dan sakit. Seolah dia hanya datang pada orang lain, dan bukan padaku.

Tapi sekarang tidak lagi. Aku tidak perlu membaca buku-buku mengenai dosa, surga dan neraka, atau buku-buku motivasi lainnya. Cukup duduk. Diam. Pejamkan mata sejenak. Hirup napas pelan-pelan. Mendengarkan detak jantungku sendiri. Kemudian merasakan pengingatku.

Aku belum pernah merasakan bahwa kematian itu begitu dekatnya seperti yang hari ini kurasakan.

Tiap detik terasa begitu berarti, kawan. Karena tidak ada kemungkinan apapun yang bisa membuatku kembali mengulang dan memperbaiki masa lalu. Hanya ada satu kesempatan saja, yaitu saat ini.

Satu kesempatan saja. Yang harus aku pergunakan dengan sebaik-baiknya. Aku harus menjaga diriku sebaik-baiknya; amanat Tuhan yang luar biasa yang Dia titipkan padaku. Belum lagi amanat-amanatNya yang lain.

Jika aku bisa tergagap ketika harus bertanggungjawab terhadap manusia, apalah lagi jika nanti ketika aku berada di pengadilan Tuhan? Hari itu, hari di mana segala sesuatunya akan dikembalikan kepada yang berhak menerimanya.

Aku tidak tahu mana yang lebih mudah: mengetahui jumlah waktu yang tersisa atau tidak mengetahuinya sama sekali. Meramalkan kematian sehingga kita bisa membuat semacam persiapan kedengarannya menyenangkan. Tetapi kenyataannya, kita bahkan tak sedikit pun diberi keistimewaan itu oleh Tuhan. Hanya ada sedikit aba-aba. Itu pun cuma bisa dimengerti oleh mereka yang peka.

Tapi apapun itu, aku tahu aku tengah berpacu dengan waktu. Jamnya berputar dan terasa lebih nyata kini. Ada banyak impian yang ingin kucapai. Mungkin tak semuanya yang akan kuraih. Tapi tak apalah, setidaknya aku masih punya waktu. Aku masih diberi kesempatan untuk berbuat sesuatu dan aku ingin memastikan orang-orang yang kucintai akan baik-baik saja tanpa aku. Itu pasti akan melegakan. Dan tampaknya sebanding.