Aku berharap aku bisa membencimu. Mungkin dengan begitu akan lebih
mudah bagiku melupakan karena otakku membaca bahwa kamu hanyalah orang
yang tak patut ku beri tempat. Kubisikkan pada diri ini bahwa kamu hanya
seorang brengsek, jahat, atau apa pun itu nama-nama yang bisa
kulekatkan agar kamu bisa keluar dari ingatanku secepat mungkin.
Bukankah orang yang telah menyakiti hati kita, tak perlu lama-lama
melekat di otak kita?
Aku berharap aku bisa membencimu.
Karena dengan begitu, mudah-mudahan aku bisa melenggang bebas,
meninggalkan masa lalu, merajut hari yang baru. Lalu suatu hari, jika
misalnya kita ketemu lagi, aku tidak akan berdebar-debar lagi ataupun
merasa bersalah karena telah meninggalkanmu.
Aku
berharap aku bisa membencimu. Mengingat keburukan-keburukanmu agar semua
rasa bisa pudar dan menghilang. Agar kau dan aku tak lagi terbebani
dengan semua ini. Karena tidak ada cinta jika tidak bersama. Bukankah
begitu? Seperti juga tertera pada buku-buku yang sering kita baca.
Aku berharap aku bisa membencimu.
Sebisa
mungkin aku menghapus semua jejakku dan jejakmu. Agar kita bisa
sama-sama lega. Agar kamu tak perlu lagi menjawab tanyaku. Agar kamu
bebas mau berbuat apa saja, pergi ke mana saja, berteman dengan siapa
saja tanpa kamu harus memikirkan aku. Seperti sebelumnya ketika kamu
belum mengenal aku.
Sebisa mungkin aku menghilang. Tak
ada kabar. Tak ada sapa. Mungkin dengan begitu, tak hanya aku, kamu juga
tak perlu buang-buang energi menjaga perasaanku. Sebelumnya juga begitu
kan? Lalu kenapa sekarang harus tidak bisa?
Dan aku
hampir berhasil. Hingga pagi ini ibu membuatkanku secangkir kopi jahe.
Hangatnya terasa sampai ke hati. Seperti teh jahe yang waktu itu kamu
buatkan untukku. Kau ingat?
Seketika, yang tersisa
hanyalah rindu. Benteng kebencian yang kubangun dari kemarin-kemarin
mendadak menguap tanpa sisa. Aku, ternyata tak bisa membencimu. Aku tak
bisa membenci siapa-siapa sebetulnya. Jangan kamu tanya mengapa, karena
akupun tak mengerti. Mungkin karena cinta. Mungkin saja. Karena
bagaimana aku akan memberinya nama jika aku sudah tak tahu lagi wujud
dari rasa ini? Tapi harus kuakui, kamu pernah begitu berarti bagiku.
Pernah menyediakan pundak untuk tangisku. Pernah menjadi telinga untuk
keluhku. Pernah menjadi kaki untuk penatku. Bahkan senyum untuk
bahagiaku. Kamu, sahabat terbaikku.
Dan ya, terlepas
dari semua itu, aku pun bukan manusia yang sempurna. Tidak ada jaminan
aku tak pernah dan tak akan melakukan kesalahan kepadamu. Bisa saja
bagimu, akulah si penjahat itu. Iya, kan? Lalu, alasan apa hingga aku
harus membencimu? Selain menutupi kenyataan yang sebenarnya, bahwa aku
hanya membenci diriku sendiri yang tak pernah bisa berhenti peduli akan
dirimu.
Aku tahu aku tak akan pernah bisa membencimu.
Karena jauh di alam sadarku, aku tahu kamu bukan seorang brengsek,
jahat, dan nama-nama lain yang diingat oleh otakku. Dan tidak ada yang
harus bertanggungjawab terhadap kebahagiaan seseorang, selain orang itu
sendiri. Lagipula, membenci untuk melupa? Itu gila. Tidak akan ada yang
bisa melakukannya.
Baiklah, aku tak akan berusaha
terlalu keras lagi. Ini sama saja seperti aku menanam biji jagung,
menimbuninya dengan pupuk, lalu kembali keesokan harinya dan berharap
jagungnya telah berbuah. Ada proses yang harus aku lewati. Ada harga dan
waktu yang harus ku bayar. Termasuk untuk sesuatu yang ingin ku
lepaskan. Ya, melepaskan. Karena memang kamu itu belum, atau memang tak
akan pernah kumiliki. Entah.
Menyerahkanmu utuh ke dalam pelukan takdir.
Minggu, 15 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar